Pentingnya Adab dan Akhlaq yang Baik

Pentingnya Adab dan Akhlaq yang Baik

Sesungguhnya perilaku yang baik merupakan salah satu akhlaq agung yang dimiliki para Nabi. Akhlaq ini akan memakaikan baju kewibawaan dan kemuliaan kepada pemiliknya, serta akan menghiasinya dengan keteguhan dan ketenangan.
Ibnu Muflih rahimahullah berkata : “Dahulu majelis (Al-Imam) Ahmad dihadiri sekitar 5000 orang atau lebih. Yang menulis kurang dari 500 orang. Adapun sisanya, belajar adab dan samt yang baik dari beliau.”

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Sungguh dahulu ada sekelompok salaf yang sengaja pergi menuju seorang hamba yang sholih untuk melihat samt dan hadyu, bukan untuk mengambil ilmunya. Karena samt dan hadyu merupakan buah dari ilmunya.”
Makhlad bin Husain rahimahullah berkata : “Kami terhadap sedikitnya adab lebih butuh daripada banyaknya hadits.”
Abu Zakariya Yahya bin Muhammad Al ‘Anbariy rahimahullah berkata : “Ilmu tanpa adab bagai api tanpa kayu bakar, sedangkan adab tanpa ilmu bak ruh tanpa jasad.”
Al Laits bin Sa’ad rahimahullah berkata kepada Ashabul Hadits : “Pelajarilah oleh kalian al-Hilm sebelum (kalian belajar) ilmu.”
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata : “Dahulu bila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya, mereka melihat terlebih dahulu kepada sholatnya, samt, dan penampilannya. Setelah itu barulah mereka mengambil ilmu darinya.”
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata : “Sungguh ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari mana kalian mengambil agama kalian.”
Sungguh samt dan ilmu merupakan pasangan. Samt tidaklah akan sempurna kecuali dengan ilmu, dan ilmu juga tidak akan sempurna kecuali dengan samt.
“Ya ALLOH, baguskanlah akhlaqku sebagaimana Engkau telah membaguskan rupaku.” 

ket :
As-Samt : Baiknya perilaku (akhlaq dan adab) dalam perkara agama
Al-Hadyu : Tingkah laku dan Cara hidup

Lewat di Depan Orang yang Sholat

Lewat di Depan Orang yang Sholat

Dari Abi Jahm bin Shimmah Al Anshari radhiyallohu ‘anhu, Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Seandainya orang yang lewat didepan orang yang sedang sholat tahu dosa yang akan menimpanya, niscaya dia akan berdiri selama empat puluh (berkata Abu Nadhar : Saya tidak tahu apakah beliau berkata empat puluh hari atau bulan atau tahun), itu lebih baik baginya dari pada lewat didepan orang yang sholat.”
Makna secara global
Orang yang sholat, dia berdiri menghadap Rabbnya, bermunajat, memohon  dan berdoa. Apabila orang lewat didepannya, sementara dia dalam keadaan seperti ini, maka terputuslah munajat yang dia lakukan dan akan terganggu ibadahnya. Oleh karena itu, termasuk dosa yang paling besar, tatkala seseorang menyebabkan celah (kurangnya) sholat orang lain dengan lewatnya dia di depan orang tsb.

Maka Pembuat syariat mengabarkan, seandainya dia tahu dosa akibat lewatnya dia didepan orang yang sholat, niscaya jauh lebih utama bagi dia berdiri di tempatnya dalam jangka waktu yang lama, daripada melewati orang yang sholat. Hal ini merupakan perkara yang wajib untuk diperingatkan dan dijauhi.
Faedah yang dapat diambil dari Hadits ini :
1. Haromnya lewat didepan orang yang sholat, jika tidak ada sutrah atau pembatas baginya ; Atau melewati (tempat) antara orang yang sholat dengan sutrah, jika sholatnya menggunakan sutrah.
2. Wajibnya menjauhi lewat di depan orang yang sholat, karena terdapat ancaman yang keras.
3. Yang lebih utama bagi mushalli, hendaknya tidak sholat di jalan yang dilalui manusia, atau tempat-tempat yang mesti dilewati. Agar sholatnya tidak kurang, dan tidak ada peluang berbuat dosa bagi orang yang lewat.
4. Perawi hadits ini ragu dalam bilangan empat puluh. Apakah yang dimaksud empat puluh hari, empat puluh bulan, atau empat puluh tahun ? Akan tetapi bukan dimaksudkan bilangan tsb sebagai batasan, tetapi maksudnya adalah puncak dalam larangan. Dulu orang Arab biasa mengucapkan sesuatu dengan bilangan-bilangan semacam itu apabila memaksudkan sesuatu yang banyak atau berkali-kali. Sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Jika engkau memintakan ampun atas mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka Alloh tetap tidak akan mengampuni mereka.” QS. At-Taubah ; 80
Oleh karena itu didalam Shahih Ibnu Hibban san Sunan Ibnu Majah, disebutkan hadits dari Abu HUrairah radhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Berdiri seratus tahun itu jauh lebih baik daripada melangkahkan kaki didepan orang yang sholat.”
5. Adapun di Mekkah, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Seandainya orang sholat di Masjid, (yakni Masjidil Haram), sementara orang-orang thawaf didepannya maka hal yang demikian tidak dibenci (tidak makruh). Sama saja apakah yang lewat didepannya itu seorang laki-laki ataupun wanita.

Mewaspadai bahaya Da’i – da’i yang Jelek

Mewaspadai bahaya Da’i – da’i yang Jelek

Wahai Wanita Muslimah,
Waspadailah da’i-da’i jelek dan penyeru kemajuan ‘emansipasi wanita’, yang dengan tipu daya dan langkah kaki mereka, berusaha untuk merusak muslimah dan mengeluarkan muslimah dari menjaga pakaiannya yang syar’i dan menjaga kehormatan dirinya, menjadi wanita yang ‘telanjang’ dan mengumbar kehormatannya dengan segala cara dan sarana.

Bila kita perhatikan, banyak da’i-da’i jelek yang melecehkan hijab wanita muslimah, bahwa itu menghambat kemajuan wanita, wanita tidak bisa bergerak bebas, bahwa hijab itu hanya budaya Arob saja.
Apa yang mereka hasilkan ternyata luar biasa. Banyak wanita muslimah terjatuh dalam ‘emansipasi wanita’, membuka pakaiannya tanpa ada rasa malu sedikitpun.
Padahal WAJIB bagi muslimah untuk menutup auratnya.
Bila mereka beralasan, “yang penting hatinya baik…,” padahal yang akan terjadi adalah hatinya akan semakin mati karena meninggalkan kewajiban dari Alloh ta’ala.
Jadilah anda wanita yang bangga dengan agamanya, merasa mulia dengan agama dan aqidahnya. Jangan malu untuk menampakkan syiar keagamaan anda. Jangan minder untuk memakai cadar/niqob.
Jangan engkau seperti bunglon, yang berubah-ubah mengikuti lingkungannya.

GADAI DAN BORG


GADAI  DAN  BORG

A.   Pengertian Gadai dan Borg
Gadai adalah penyerahan suatu benda yang berharga dari seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam hutang piutang. Sedangkan borg adalah benda yang dijadikan penguat dalam hutang piutang itu.
Borg dalam bahasa fiqih disebut Ar Rahn yang berarti tetap dan lestari, Pemilik barang yang berhutang disebut Rahin (yang menggadaikan), sedangkan yang mengambil barang tersebut serta mengikatnya dibawah kekuasaannya disebut Murtahin. Sebutan barang yang digadaikan adalah Rahn (gadaian).
Benda sebagai Borg ini akan diambil oleh orang yang berhutang jika hutangnya telah dibayar. Jika waktu pembayaran yang ditentukan telah tiba dan hutangnya belum dibayar, maka Borg itu dapat dijadikan sebagai pengganti pembayaran hutang atau borg itu dijual untuk pembayaran hutang dan jika ada kelebihannya akan dikembalikan kepada orang yang berhitang.
Allah Berfirman pada Surat (Al Baqoroh : 282) yang artinya:
Dan jika kamu dalam bepergian, sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi hutang). (Al Baqoroh : 282)

Allah Berfirman pada Surat (Al Mudatsir : 38) yang artinya:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al Mudatsir :38)

B.   Hukum Gadai dan Borg
Hukum Gadai dan Borg adalah sunnah bagi yang memberikan hutang( menerima borg) dan mubah bagi yang berhutang menyerahkan borg.
Allah Berfirman pada Surat (Al Baqoroh : 283) yang artinya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya (QS. Al Baqoroh :283)

C.   Rukun Gadai
1.     Orang yang menggadaikan atau yang menyerahkan jaminan
2.     Orang yang memberi hutang atau yang menerima jaminan, Kedua orang tersebut disyaratkan orang yang berhak membelanjakan hartanya
3.     Barang yang digadaikan jaminan disyaratkan tidak rusak sebelum sampai kepada pembayaran hutang
4.     Hutang atau sesuatu yang menjadikan adannya gadai
5.     Aqad (Ijab Qabul)

D.   Syarat Sahnya Akad Gadai
Syarat sahnya akad gadai itu adalah:
1.     Berakal
2.     Baligh
3.     Bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan) itu ada pada saat akad sekalipun tidak satu jenis
4.     Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadaian (murtahin) atau wakilnya
Perbedaan borg dan gadai terletak pada pemanfaatan barang. Pemanfaatan borg tetap berada pada pemilik barang, sedangkan gadai pemanfaatannya pindah kepada penerima gadai. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat ada yang menggunakan jasa perkreditan.

E.   Macam- Macam Perkreditan
a.     KCK (Kredit Candak Kulak)
Ialah jenis perkreditan yang lebih diutamakan untuk kebutuhan modal para petani dalam mengelola tanah pertaniannya.
b.     KPR – BTN (Kredit Pemilikan Rumah – Bank Tabungan Negara )
Yaitu jenis kredit yang dikhususkan untuk pemilikan rumah sebagai tempat tinggal dengan masa angsuran cukup panjang. (kurang lebih 20 tahun)
c.     KIK (Kredit Investasi Kecil)
Yaitu jenis kredit yang diberikan untuk membiyayai modal kerja kelompok kecil
d.     KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen)
Yaitu jenis perkreditan yang melayani pembiayaan modal kerja bagi usaha kelompok menengah keatas
F.    Manfaat Perkreditan
a.     Mudah memilih barang walaupun tidak mempunyai uang tunai yang cukup pada saat itu
b.     Dapat meringankan pembayaran, karena dilakukan dengan cara mengangsur
c.     Memupuk sikap saling percaya antara penjual dan pembeli
d.     Membiasakan untuk merencanakan pengeluaran uang secara rutin
Disamping beberapa manfaat diatas, perkreditan juga mempunyai beberapa manfaat lain yaitu:
a.     Harga barang menjadi lebih tinggi
b.     Terasa ada beban tanggungan hutang dalam waktu tertentu
c.     Menyebabkan munculnya sikap konsumtif
d.     Bila catatan lemah, tidak teliti, atau bahkan tidak dicatat dapat mengakibatkan perselisihan tentang pembayaran
Dari segi tujuannya, kredit perbankan yang diberikan kepada masyarakat terdiri atas tiga macam yaitu:
a.     Kredit Konsumsif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk mempelancar jalannya proses konsumsif (yang bersifat pemanfaatan, pemakaian atau dimakan). Yang termasuk dalam bentuk kredit ini seperti kredit pemilikan rumah.
b.     Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk mempelancar jalannya proses produksi, contoh : kredit untuk memperbesar usaha pembuatan batu bata, penerbitan buku dan lain sebagainya.
c.     Kredit Perdagangan, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk membeli barang yang akan dijual lagi.

PINJAM MEMINJAM MENURUT KAIDAH ISLAM


PINJAM MEMINJAM MENURUT KAIDAH ISLAM

A.   Pengertian Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam dalam bahasa Arab disebut Al Ariyah yang artinya meminjam, pinjam meminjam adalah aqad pemberian manfaat terhadap benda yang halal dari seseorang kepada orang lain tanpa imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda tersebut. Benda itu dikembalikan setelah peminjam mengambil manfaatnya. Kegiatan pinjam meminjam ini didasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maidah ; 2)

B.   Hukum Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam itu hukumnya sunnah sama seperti tolong menolong, seperti meminjamkan uang kepada orang yang sedang sakit untuk biaya periksa dokter. Tetapi pinjam meminjam itu menjadi haram apabila uang pinjaman itu digunakan oleh orang yang meminjam untuk membeli narkoba, miras, dll.

C. Rukun Pinjam Meminjam
     1. Orang yang memberi pinjaman disyaratkan:
a.  Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak yang masih kecil tidak sah meminjamkan
b. Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang  yang meminjamkan
     2. Orang meminjamkan disyaratkan:
         a.  Berhak menerima kebaikan, Anak kecil atau orang gila tidak sah meminjamkan karena tidak berhak menerima kebaikan
          b. Hanya mengambil dari barang yang dipinjam
     3. Syarat-syarat barang yang dipinjamkan:
          a. Ada manfaatnya
          b. Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya)

D.   Kewajiban Peminjam
Orang yang meminjam barang kepada orang lain maka berkewajiban:
1.     Mengembalikan barang itu kepada pemiliknya sesuai dengan batas waktu perjanjian, seperti dalam sabda Nabi yang artinya:

Abu Umamah ra. Mengatakan bahwa Nabi SAW, bersabda; Pinjam itu harus dikembalikan, dan orang yang meminjam yang berhutang, dan hutang wajib dibayar. (HR. Turmudzi)

2.     Mengganti apabila barang itu hilang atau rusak
Apabila barang yang telah dipinjam itu telah rusak, maka orang yang meminjam itu berkewajiban mengganti barang yang sesuai dengan barang yang dipinjam. Seperti dalam sabda Rasulullah yang artinya:

Bukan, tetapi ia adalah pinjaman yang dijamin akan diganti apabila rusak atau hilang. (HR. Abu Dawud)

3.     Merawat barang pinjaman dengan baik selama ditangannya
Apabila terjadi kerusakan pada barang yang dipinjam, maka orang yang meminjam harus memperbaikinnya. Seperti dalam sabda Rasulullah yang artinya:

Kewajiban peminjam merawat apa yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu (HR. Ahmad)

E.   Berakhirnya pinjam meminjam
Pinjam meminjam itu berakhir ;
1.     Apabila barang yang dipinjam itu telah diambil manfaatnya dan harus dikembalikan secepatnya kepada pemilik barang
2.     Apabila salah satu dari kedua belah pihak meninggal dunia atau barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu
Apabila terjadi perselisihan antara yang meminjamkan barang dengan yang meminjam barang tentang apakah barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah si pemilik barang tersebut yang dikuatkan dengan sumpah.



                     

Ketentuan Penyembelihan Binatang Menurut Kaidah Islam

Ketentuan Penyembelihan Binatang Menurut Kaidah Islam

  1. Pengertian Penyembelihan
Yang dimaksud dengan penyembelihan adalah perbuatan yang menyebabkan kematian hewan (yang dihalalkan) untuk dimakan dagingnya dengan menggunakan alat yang tajam menurut aturan yang telah di syari’atkan dalam agama islam.
  1. Ketentuan Penyembelihan
    1. Penyembelihan, dengan syarat:
      1. Orang Islam/Ahli Kitab
Bahwa penyembelih adalah seorang yang berakal, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik muslim atau ahli kitab. Seorang pemabuk, atau orang gila, atau anak kecil yang belum dapat membedakan, maka sesembelihannya dinyatakan tidak halal. Firman Allah mengatakan pada (QS. Al-An’am; 121 dan QS. Al Maidah; 5) :

Artinya: Dan jangan kamu memakan binatang – binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (QS. Al-Al An’am; 121)


Artinya: Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka ( dan Dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. (QS. Al Maidah; 5)

      1. Niat ( dengan menyengaja menyembelih )
Niat merupakan inti dari setiap pekerjaan. Sebab, baik tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W. yang artinya: Segala perbuatan hanyalah tergantung niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa yang diniatkan.

      1. Dengan menyebut asma Allah
Firman Allah mengatakan pada QS. Al An’am; 121:


Artinya: Dan jangan kamu memakan binatang – binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.

    1. Hewan yang disembelih adalah hewan yang halal dimakan
Firman Allah mengatakan pada QS. Al Maidah; 1:


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al Maidah; 1)

    1. Alat yang digunakan untuk menyembelih harus tajam.
Bahwa alat yang dipergunakan menyembelih itu tajam, sehingga memungkinkan mengalirnya darah dan terputusnya tenggorokan, misal nya pisau yang mempunyai sisi tajam untuk dapat memotong. Yang tidak diperbolehkan adalah gigi dan kuku.

    1. Terputusnya tenggorokan serta saluran makanan dan minuman.
Tidak disyaratkan memisahkan dan tidak disyaratkan pula putusnya dua nadi. Karena ia merupakan saluran makanan dan minuman, yang tidak mungkin dari keduannya ada kehidupan, dan itulah tujuan mematikan.

  1. Cara Penyembelihannya
    1. Hewan yang disembelih dipotong kedua urat yang terdapat di lehernya sampai putus
    2. Jika tidak dapat disembelih lehernya karena hewan itu sangat liar atau jatuh kelubang sehingga sulit untuk menyembelih pada pangkal leher, maka penyembelihannya dapat dilakukan dimana saja dari badannya atau yang lainnya asalkan hewan tersebut dapat mati karena luka itu, misalnya terkena tembakan.
    3. Menggunakan alat penyembelihan, semua barang yang tajam dan berlaras panjang serta melukakan, kecuali gigi dan kuku (segala macam tulang ). Dan sebagaimana hadist Nabi yang dikemukakan oleh HR. Muslim yang artinya: Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwasannya beliau perna ditanyakan: apakah kami boleh menyembelih dengan marwah (sejenis batu berkilat) dan dengan belahan tongkat? Rasulullah SAW menjawab: percepatlah, dan apa-apa yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah padanya, maka makanlah, bukan dengan gigi dan kuku. (HR. Muslim)

  1. Hal-Hal yang disunnahkan Saat Menyembelih
    1. Membaca Basmallah
    2. Membaca Sholawat Nabi Muhammad SAW
    3. Menajamkan alat-alat penyembelihan
    4. Menghadap kiblat
    5. Memotong pada pangkal leher agar lekas mati
    6. Memotong dua urat nadi yang ada pada kiri dan kanan leher binatang
    7. Posisi rusuk kiri binatang yang disembelih tersebut terletak di sebelah bawah, sehingga akan lebih mudah bagi orang yang menyembelihnya.
  2. Hal-Hal yang dimakruhkan Saat Menyembelih
    1. Menyembelih sampai putus lehernya (kepalanya terpisah)
    2. Menyembelih dengan alat yang tumpul
    3. Memukul kepala binatang waktu akan menyembelihnya
    4. hanya memotong kedua urat nadi yaitu kerongkongannya saja
    5. Mengulitinya sebelum rohnya pergi

  1. Menyembelih dengan alat-alat mekanik
Penyembelihan dengan alat mekanik maksudnya menyembelih binatang dengan alat mesin potong, untuk mempercepat penyembelihannya karena hewan yang akan disembelih sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Syarat-syarat penyembelihan dengan alat mekanik, yaitu:
  1. Mesin potong itu dijalankan oleh orang islam atau ahli kitab dan menyebut nama Allah ketika pada saat menyalakan mesin potongnya
  2. Hewan yang akan disembelih dalam keadaan hidup dan termasuk hewan yang halal dimakan
  3. Alat mekanik yang digunakan untuk menyembelih harus benda tajam bai dari logam atau semacamnya.





Seputar Pesantren


Seputar Pesantren

Handphone: Pesantren dan Dilema Modernitas                 

Nurcholis Madjid, salah satu cendekiawan besar muslim Indonesia membagi pesantren (dalam karyanya Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:Paramadina, 1997), terkait dengan respon jagat pesantren terhadap tantangan dan arus jaman, ke dalam empat jenis. Pesantren jenis pertama adalah pesantren modern yang penuh ghirah membenahi pesantren dengan sistem yang kompatibel dengan semangat modernitas. Pesantren kedua, pesantren yang melek kemajuan jaman sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai yang positif dari tradisi. Pesantren ketiga adalah pesantren yang juga memahami aspek positif modernitas namun tetap memilih menjadi jangkar bagi persemaian semangat tradisionalisme. Sedangkan pesantren jenis keempat adalah pesantren yang bersikap antagonis terhadap gegap gempita modernisasi. Saat ini, jenis yang terbanyak adalah pesantren ragam kedua. Karena prinsip yang umum dianut oleh dunia pesantren adalah konsep qaidah fiqh  yang berbunyi : al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi yang masih baik sekaligus mengadopsi hal-hal baru yang jauh lebih baik. Adapun pesantren dengan tipe terakhir, dalam perkiraan penulis, jarang ditemukan atau bahkan sudah tidak ada lagi di saat ini.
Klasifikasi Cak Nur terhadap jenis pesantren tersebut cukup membantu kita melihat peta keseluruhan respon dunia pesantren terhadap modernitas. Namun saat ini, tantangan dunia pesantren yang sesungguhnya jauh lebih kongkrit. Klasifikasi di atas terlalu sederhana untuk menjawab tantangan bagi permasalahan yang harus dihadapi dunia pesantren. Modernitas yang mengusung nilai-nilai budaya baru melalui kecanggihan tehnologi dan alat komunikasi, telah menelusup jauh masuk ke seluruh lini kehidupan masyarakat, tak terkecuali dunia pesantren.
Pesantren yang menganut asas kesederhanaan, lambat-laun mulai direpotkan oleh fenomena "sensitif tehnologi" di tengah-tengah masyarakat yang menjalar ke dunia pesantren. Salah satu budaya baru yang potensial menghadirkan ancaman adalah arus komunikasi yang serba mudah dengan kehadiran telepon genggam (handphone/telepon seluler). Demam handphone (HP) merupakan salah satu dari bentuk "sensitif tehnologi" yang mewabah di masyarakat terutama para muda. Ruang-ruang interaksi remaja kita saat ini dominan oleh perbincangan mengenai tetek-bengek HP. Para santri pesantren yang mayoritas remaja akan sulit dibendung dari filtrasi "virus sensitif tehnologi" semacam demam HP ini.
Tanpa mengesampingkan kegunaan positif dari alat komunikasi semacam HP, potensi negatif alat tersebut akan sangat kasat mata di tangan para remaja dan santri. Lebih-lebih di tengah maraknya peredaran video-video compress mesum yang dengan mudah disimpan dan dipertontonkan melalui HP. Ancamannya tidak main-main bagi dunia pesantren: badai kemerosotan moralitas yang luar biasa.
Situasi yang serba terbuka saat ini akan menyulitkan para pengasuh pesantren untuk mengambil langkah-langkah preventif (pencegahan) yang efektif sekalipun. Potensi merusak dari tehnologi komunikasi semacam HP, lambat tapi pasti, akan menemukan momentumnya untuk menghantam telak nilai-nilai tradisi pesantren. Selama ini dampak tehnologi yang mempertontonkan adegan-adegan mesum relatif dapat dilokalisir, namun kehadiran HP mengakibatkan tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi dapat dengan mudah menyusup ke ruang-ruang privat tanpa dapat dikontrol lagi. Pemerintah yang seharusnya dapat berperan membendung akses-akses utama pornografi dan pornoaksi, jauh dari harapan yang dapat digantungkan oleh dunia pesantren.
Dengan demikian, pesantren tidak boleh termangu untuk mengatasi bahaya laten tehnologi informatika. Pesantren harus proaktif memikirkan dan mengambil langkah-langkah nyata untuk mengendalikan dampak kehadiran alat tehnologi semacam HP tersebut. Salah satu langkah nyata yang dapat diambil adalah terus menumbuhkembangkan sikap kedewasaan dan tanggungjawab para santri. Cara mengucilkan para santri dari dunia tehnologi justru akan menjadikan para santri pribadi-pribadi yang gugup dan gagap terhadap perkembangan jaman dan pada gilirannya hanya akan mengantar mereka menjadi pemuja-pemuja tehnologi tanpa bekal pengetahuan yang memadai mengenai aspek negatifnya. Para orang tua juga tidak dapat tinggal diam. Mereka harus turut aktif dan berupaya dengan keras untuk mengontrol perilaku generasi-generasi penerusnya. Sinergi semua pihak akan sangat membantu dalam menghadapi efek-efek negatif modernisasi.

Kopiah, identitas Santri?
                       
Zaman sekarang sebuah kemasan, merek, bahasa pesantrennya bentuk dhahir, dianggap jauh lebih penting ketimbang sebuah isi. Perkembangan zaman telah berhasil menanamkan kemasan menjadi sesutau yang penting, mengabaikan kwalitas.
Dalam Ta'lim al-Muta'alim, buah pena Syeikh Zarnuji yang menurut sebagian kalangan sudah tidak relevan, ada penekakan untuk selalu memakai tutup kepala dalam setiap aktifitas. Kemudian oleh pesantren hal itu tidak diterjemahkan dalam bentuk serban atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah.
Dalam pandangan mereka, memakai kopiah merupakan bentuk kewiraian atau kezuhudan seseorang, paling tidak sebagai bentuk kelaziman. Oleh karenanya, seorang santri tidak diperbolehkan melepas peci dalam kesehariannya. Santri yang berani menanggalkan kopiah diidentikkan dengan santri badung yang sering melangar tatakrama dan aturan.
Tradisi ini menjalar ke masyarakat, dengan berkopiah seseorang dianggap memiliki nilai plus, kurang utama bila menanggalkan kopiah saat menunaikan shalat, dan lain sebagainya, termasuk ketika sekarang banyak orang mencari simpati untuk meraih suara. Namun ironis, akibat penekanannya atas bentuk lahir, pemahaman akan tradisi pesantrenpun menjadi keliru. Banyak masyarakat memakan mentah-mentah tradisi ini, contoh kecil ketika mereka salah kaprah memakai kopiah dalam shalat, terbukti masih banyak yang malah menutup bagian yang mestinya terbuka waktu melakukan sujud, tidak sedikit yang keliru memakai kopiah.
Tutup kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6-12 cm ini, ada yang mengatakan, bila dipandang dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India. Ada pula yang menyatakan bahwa kopiah memang asli kreasi nusantara. Penutup kepala, entah apakah bentuknya sama seperti kopiah-kopiah Indonesia sekarang, memang telah ada sejak dulu kala.
Yang jelas, menurut sejarah pada awal pergerakan Nasional 1908-an, kebanyakan para aktivis masih memakai daster dan tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat. Seiring meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme -paham dan pola sikap yang mengagung-agungkan pangkat dan jabatan tanpa mengagungkan prestasi kerjanya- termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, tokoh idola panutan kaum pergerakan waktu itu, Tjokroaminoto yang sering berkopiah, dengan sendirinya kopiah menjalar di kalangan aktifis, termasuk muridnya, Soekarno.
Sejak saat itu kopiah yang semula merupakan tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional, identitas ke Indonesiaan, yang dipelopori kaum pergerakan. Ada yang bilang, berkat pesona seorang Soekarno, para aktivis dan priyayi waktu itu mulai menggunakan kopiah. Di samping menjadi simbol Islamisme, kopiah waktu itu juga sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme, yang mampu membedakan mana priyayi pro rakyat dan priyayi kolaborator Belanda.
Pada Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin, saat Nahdlatul Ulama (NU) mulai sangat aktif melibatkan diri untuk merespon perkembangan dunia luar, baik nasional maupun internasional. NU mengakui Nasioalisme Hindia Belanda dan mulai memperbolehkan warganya memakai pantaloon (celana panjang), namun identitas kesantrian harus tetap terlihat. Salah satu bentuknya adalah memakai kopiah, sehingga masih bisa dibedakan dengan kolonial Belanda.
Namun kini, kopiah bukan hanya identifikasi bagi seorang muslim, pembeda dengan penjajah, patriotisme, ataupun simbol nasionalisme. Lihat saja upacara–upacara pelantikan pejabat Negara, meskipun dia bukan seorang muslim, tidak sedikit yang memakai penutup berbahan beludru ini. Sering pula kita saksikan, bahkan kebanyakan, para perusak Negara memakai kopiah ketika tersudut di depan meja hijau. Berubah fungsikah?
Permasalahan kopiah seperti di atas mestinya ‘menghina’ kecerdasan kita sebagai muslim, khususnya kalangan pesantren. Bagaimana mungkin cuma dengan modal kopiah, orang sudah dipercaya ‘pindah agama’. Segampang itukah? Bagaimana bisa ketaatan beragama hanya muncul sebagai penutup kepala, sebuah keputusan yang perlu dipertanyakan.
Tapi, mari kita hargai keputusan ini, sebab kita memang masyarakat yang gampang ditipu. Apalagi bila tipuan itu memuat unsur-unsur yang kita suka, simbol dan atribut, kopiah misalnya.
Begitu besar minat kita pada atribut, keindahan kemasan, hingga mendorong orang dengan mudahnya merubah kepribadian. Jika ia telah berdandan sedemikian rupa, merasa telah menjadi orang bertakwa. Untuk menjadi seorang nasionalis, kita cukup hanya dengan mengganti nama saja dan kalau mau jadi seniman, orang cukup bermodal memanjangkan rambut dan mengacak-acak dandanan.
Begitulah, zaman telah begini maju, tapi kita masih dengan mudahnya tertipu dengan ‘merek’. Bila kita tidak segera berbenah, jangan heran bila ke depan makin banyak kita temui para penipu.
Untuk mewaspadai hal itu, mulai sekarang kita harus menekan ambisi yang kelewatan atas sebuah simbol dan atribut. Perlu juga ada semacan ‘penelaahan kembali’ oleh setiap muslim. Bagi kalangan pesantren, tentu penelaahan tentang perkopiahan juga perlu ada penekanan, karena ketika imej sebuah kopiah telah tercoreng, secara tidak langsung pesantrenpun terkena imbasnya. Dengan itu, semoga saja penipu-penipu handal sekarang adalah generasi terakhir mereka. Semoga


PP 55/2007: Politik Akomodasi atau Taktik Hegemoni?               
              
Madu di tangan kananmu
racun di tangan kirimu
Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku

Menjelang dan sesudah pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pemerintah berusaha meyakinkan kalangan pondok pesantren bahwa regulasi tersebut akan berdampak positif dan menguntungkan institusi pendidikan tertua di nusantara ini. Tetapi, menurut hemat penulis, kalangan pesantren juga perlu memperhatikan “efek samping” yang tidak kecil dari implementasi peraturan tersebut.
Kenapa “efek samping” tersebut harus menjadi perhatian pesantren? Pertama, sebagai produk politik, PP 55/2007 tidak bisa dilepaskan dari agenda dan kepentingan politik penguasa. Mengutip Sirozi (2005:37), hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekadar hubungan saling memengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan.
Kedua, sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan semata. Sebagaimana diungkapkan oleh Nafi’ (2007:11-33), dalam sejarah panjangnya, peran pesantren telah melingkupi enam ranah penting sekaligus, yaitu sebagai lembaga pendidikan, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya. Keenam peran tersebut pada umumnya dijalankan pesantren secara bertahap. Dan, peran sebagai lembaga pendidikan adalah tahap pertama dari keseluruhan peran tersebut.
Dalam konteks inilah pesantren harus menghitung secara cermat segala konsekuensi dari implementasi PP 55/2007. Mirip kutipan lagu ciptaan Gombloh di atas, saat ini kita belum tahu apakah peraturan tersebut bakal menjadi madu atau racun bagi eksistensi pesantren di masa depan. Harus dihitung dengan cermat, apakah PP 55/2007 akan mendorong pengembangan peran pesantren secara optimal atau justru mereduksi perannya sekadar sebagai lembaga pendidikan.

Ranjau
Sebagaimana pendapat penulis yang pernah dikutip majalah ini (AULA, Februari 2008), sedikitnya ada tiga ranjau yang menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang. Ketiga hal itu meliputi ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan eksekusi kewenangan pemerintah serta birokratisasi dan intervensi kurikulum pesantren/madrasah diniyah.
Terkait ketiga hal ini, Sirozi (2005:59) mengungkapkan bahwa banyak negara yang menempuh segala cara untuk terus mengontrol berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang berkembang dalam masyarakatnya. Memperketat birokrasi, memperbanyak peraturan perundang-undangan, mendikte kurikulum, menerapkan sistem akreditasi, dan membuat skema subsidi merupakan beberapa cara yang sering digunakan oleh negara dalam upaya mengontrol aktivitas pendidikan masyarakat.
Senada dengan itu, Dale (1989:39-43) menyatakan bahwa kontrol negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, sistem pendidikan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah eksistensi pesantren dalam konteks politik saat ini? Pertama, dalam konteks global, eksistensi pesantren sempat menjadi perbincangan hangat menyusul maraknya aksi teror di berbagai belahan dunia. Ketika Bom Bali yang konon dirancang Amrozi cs meledak (2002), pesantren pun sempat dicurigai sebagai sarang teroris. Diduga, dalam kaitan itu pulalah Presiden Amerika Serikat George W Bush menjanjikan bantuan pendidikan sebesar US$ 157 juta kepada pemerintah Indonesia. Meski menyatakan tidak ingin melakukan intervensi kurikulum, Presiden Bush saat itu berharap pendidikan Indonesia dapat meredam potensi radikalisme.
Kedua, dalam konteks nasional, telah terjadi pergeseran kebijakan pemerintah terhadap pesantren dan madrasah diniyah. Pada dekade 1990-an, pendidikan pesantren dimasukkan kategori pendidikan luar sekolah yang mendapatkan bantuan “ala kadarnya” dari pemerintah. PP 73/1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah –sebagai penjabaran UU 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)-- menyebutkan bahwa pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan.
Kondisi ini berubah seiring disahkannya UU 20/2003 tentang Sisdiknas (UU Sisdiknas). Pasal 15 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Selanjutnya, Pasal 30 ayat (3) menegaskan bahwa pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Ketentuan inilah yang diterjemahkan lebih lanjut oleh PP 55/2007.
Ketiga, dalam konteks lokal, penyelenggaraan pendidikan (seharusnya) merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah seiring penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi, dalam praktiknya, pendidikan merupakan sektor yang paling “alergi” terhadap penerapan desentralisasi. Departemen Pendidikan Nasional justru menjadi “pelopor” lahirnya berbagai kebijakan bernuansa soft centralization, seperti kebijakan ujian nasional dan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi. Nah, penerapan PP 55/2007 akan membuat pesantren berada di simpang kepentingan antara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama serta pemerintah daerah sebagai pemilik sah kewenangan atas penyelenggaraan pendidikan.
Menurut hemat penulis, respons kalangan pesantren terhadap PP 55/2007 tidak bisa dilepaskan dari ketiga aras kepentingan tersebut. Artinya, akomodasi pemerintah terhadap keberadaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional tetap harus dibaca secara kritis dan objektif. Tanpa sikap kritis, pesantren akan terjebak skenario penjinakan yang memicu polarisasi di kemudian hari.
Di sinilah keluwesan pesantren dalam merespons perubahan dan tantangan zaman kembali diuji. Dengan prinsip al-muhâfadhah alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah, kalangan pesantren dituntut merumuskan strateginya sendiri dalam merespons peluang yang penuh dengan ranjau politik ini.
Dalam kaitan ini, kalangan pesantren perlu duduk bersama untuk merancang visi bersama (shared vision) tentang format masa depan pesantren yang ideal tanpa terjebak hegemoni atau semangat konfrontasi. Tetapi, dengan kondisi kita saat ini, dari manakah langkah besar itu harus dimulai?

Pesantren dalam Dilema      
           
Sejarah pendidikan pesantren akan segera memasuki babak baru pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Mampukah peraturan yang disahkan bertepatan dengan Hari ABRI (5 Oktober 2007) itu menjadi instrumen pengembangan dan akomodasi pesantren dalam kebijakan pemerintah? Atau sebaliknya, ia justru menjadi alat homogenisasi-hegemonik pemerintah terhadap pesantren?

Peluang
Di satu sisi, terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan peluang emas bagi pengembangan pesantren. Pasalnya, UU tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4).
Dengan demikian, beberapa kalangan meyakini nasib lembaga pendidikan yang genuine dan tertua di Indonesia ini bakal menjadi ”lebih baik”. Kecenderungan aparat birokrasi pendidikan meminggirkan pesantren dari arus utama kebijakan selama ini tidak sah lagi diteruskan. Dukungan kebijakan dan pendanaan untuk pendidikan diniyah dan pesantren pun diyakini akan lebih besar daripada sebelumnya.
Pada saat sama, dengan persyaratan tertentu, alumni pendidikan diniyah dan pesantren akan mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dengan alumni pendidikan umum. Artinya, kesinambungan pendidikan dan kiprah sosial-politik-kemasyarakatan alumni pesantren tidak akan terhalang hanya karena yang bersangkutan tidak pernah mengenyam pendidikan umum atau memiliki ijazah ”pendidikan formal”.
Konsekuensinya, kedua institusi pendidikan keagamaan ini akan terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Dan, inilah harga yang harus dibayar kalangan pesantren untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dan pengakuan tersebut.
Pertanyaannya, wajarkah harga tersebut bila dibandingkan dengan ”fasilitas” yang akan diperoleh? Jawaban atas pertanyaan ini akan dapat ditemukan dengan mencermati beberapa ketentuan yang termaktub dalam PP 55/2007.

Dilema
    Terlepas dari berbagai ”janji sorga” yang disampaikan pemerintah, peraturan ini menyimpan sedikitnya tiga ranjau yang menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang. 
Pertama, pesantren sejak awal harus mewaspadai kecenderungan timpangnya eksekusi kewenangan pemerintah dibanding pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Kasus reduksi pemenuhan kewajiban pemerintah atas pembiayaan pendidikan dasar yang di-”make up” dengan istilah ”bantuan” dalam program bantuan operasional sekolah (BOS) adalah indikasi nyata kuatnya kecenderungan itu. Contoh aktual adalah implementasi UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang karut marut belakangan ini.
Kedua, terkait kecenderungan di atas, perlu juga diwaspadai adanya upaya homogenisasi-hegemonik dan birokratisasi pesantren dan pendidikan diniyah melalui instrumen evaluasi dan akreditasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PP No 55/2007, pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP) setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama. Sementara itu, pelaksanaan ujian nasional ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada SNP (Pasal 19).
Sekilas, tidak ada sesuatu yang janggal dalam ketentuan ini. Tetapi, jika kita cermati ruang lingkup SNP dalam PP No 19/2005, maka kejanggalan itu akan tampak. Pasalnya, SNP meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (pasal 2 ayat 1).
Artinya, untuk implementasi peraturan ini, pemerintah perlu membentuk lembaga sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan atau lembaga penjaminan mutu. Dalam sebuah diskusi, penulis secara berkelakar menyampaikan bahwa jika Departemen Pendidikan Nasional mengatur lembaga sertifikasi guru, maka Departemen Agama dalam waktu dekat akan mengatur lembaga sertifikasi kiai.
Ketiga, intervensi kurikulum. Kurikulum pendidikan diniyah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam untuk diniyah dasar serta ditambah pendidikan seni dan budaya untuk diniyah menengah (Pasal 18).
Dibandingkan dengan draf awal rancangan PP ini yang disusun pada 2003, ketentuan di atas jauh lebih longgar. Sebelumnya, ketentuan kurikulum pendidikan diniyah mencantumkan lebih dari 10 mata pelajaran yang wajib diajarkan. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa jumlah mata pelajaran tersebut tidak akan ditambah seiring dengan implementasinya di kemudian hari.
Pasalnya, meski dihapus dari PP, pengaturan isi kurikulum pendidikan keagamaan justru dialihkan kepada Peraturan Menteri Agama dengan merujuk SNP. Jika demikian halnya, nasib diniyah hampir dapat dipastikan akan segera menyusul nasib madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) yang awalnya hanya diwajibkan memiliki muatan pendidikan umum sekitar 30 persen.
Di atas itu semua, berbagai prosedur teknis-administratif yang disyaratkan dalam peraturan ini akan menyeret pendidikan diniyah dan pesantren ke dalam pusaran birokratisasi yang melelahkan. Dalam kondisi begitu, peran pesantren –dengan lembaga pendidikan diniyah di dalamnya-- akan tereduksi sebagai lembaga pendidikan semata.
Padahal, dalam sejarah panjangnya, peran pesantren telah melingkupi enam ranah penting sekaligus. Yaitu, sebagai lembaga pendidikan, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya (Dian Nafi’ et al, 2007).
Keenam peran tersebut pada umumnya dijalankan pesantren secara bertahap. Dan, peran sebagai lembaga pendidikan adalah tahap pertama dari keseluruhan peran tersebut. Karena itu, jika energi pesantren tersita untuk pemenuhan hal-hal yang bersifat administratif-birokratis, bukan tidak mungkin peran-peran lainnya akan tereduksi secara alamiah. Wallahu a’lam.

Metode Memahami Kitab Kuning   
             
Term kitab kuning bukan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akdemisi lebih populer dengan sebutan turats.
Turats secara harfiah berarti sesuatu yang ditinggalkan/ diwariskan. Di dunia pemikiran Islam, turats digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turats yang berarti khazanah tradisional Islam merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.
Sejarah mencatat bahwa para pembuat kitab kuning/ turats dalam memainkan perannya di panggung pergulatan pemikiran Islam tak pernah sepi dari polemik dan hal-hal yang berbau kontradiktif. Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murji’ah, Rafidhah, dan Ahlu al Sunnah yang direkam secara rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad al Baghdadi (w. 429/1037) dalam karyanya al Farqu bain al Firaq. Dalam buku tersebut tergambar dengan jelas kemajemukan pemahaman agama terlebih masalah akidah. Setelah melakukan pencarian dan kajian yang mendalam para tokoh aliran masing-masing menemukan konklusi yang berbeda-beda.

Pada kurun berikutnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali (w.505 H) berhasil mengguncang dunia filsafat melalui bukunya yang bejudul Tahafut al Falasifah. Dengan sangat rasional beliau mengungkap kerancuan pemikiran para filosof terutama pemikiran al Farabi dan Ibnu Sina. Namun kritikan tajam dari Ghazali terhadap para filosof ini mendapatkan serangan balik dari Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 595 H) melalui Tahafut al Tahafut. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, Ghazali dinilai kurang tepat dalam menguak sisi fatalitas pemikiran para filosof karena Ghazali pada dasarnya hanya bersandar pada dua pemikiran yakni al Farabi dan Ibnu Sina, bukan pada akarnya, yakni filsafat Yunani. Dalam hal, ini Ibnu Rusyd adalah sosok yang melakukan apologi (pembelaan) sekaligus purifikasi (pemurnian) filsafat Aristoteles yang tercemar dan terkaburkan oleh pendapat Ibnu Sina. Bahkan Ibnu Rusyd berusaha untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dan agama.
Silang pendapat juga tumbuh subur di ranah hukum Islam (fikih). Gesekan-gesekan banyak terjadi pada pentolan dan pendiri madzhab seperti Syafi’i, Maliki dan imam-imam yang lain. Dalam tubuh sebuah madzhab juga kerap terjadi benturan ide sebagaimana yang ada dalam kubu Syafi’iyah seperti al Nawawi dengan al Rafi’i. Namun perlu diingat bahwa perbedaan bukan berarti permusuhan. Beragam pendapat yang muncul disikapi oleh para pemikir klasik dengan penuh kedewasaan sehingga dengan perbedaan justru benar-benar membawa rahmat.
Berbicara soal ilmu pengetahuan, ada baiknya kita tengok kembali gagasan Ghazali dalam al Mustashfa fi ’Ilm al Ushul -buku tentang teori hukum Islam (ushul fikih). Dalam prolog (khutbah al kitab) buku tersebut, Hujjatul Islam memetakan ilmu menjadi tiga macam. Pertama, ilmu rasional murni (’aqli mahdh) seperti matematika (al hisab), arsitektur (al handasah) dan astrologi (al nujum). Agama tidak menganjurkan untuk mempelajari ilmu jenis ini. Ilmu ini sebagian mengandung kebenaran dan sebagian yang lain hanyalah spekulasi yang tak berdasar. Dalam kacamata Ghazali, ilmu ini tidak berguna karena hanya terkait erat dengan kehidupan dunia yang fana. Ilmu bisa dikatakan bermanfaat bukanlah ilmu yang hanya berorientasi pada kenikmatan dan kegemilangan masa depan, melainkan diukur dengan kemampuannya mengantarkan kepada kebahagian akhirat yang abadi.
Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli mahdh). Contoh ilmu ini adalah ilmu hadis, tafsir dan yang sejenis. Ilmu hadis dan tafsir diperoleh dari sahabat, tabi’in dan orang-orang zaman dahulu. Untuk mengkaji ilmu jenis ini sangat mudah sebab orang muda dan tua dapat menguasai dengan gampang asalkan memiliki daya ingat yang tajam (quwwat al hifdzi), sementara rasio tidak begitu berperan di bidang ini.
Dalam perspektif Ghazali, pembagian ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang ketiga. Ilmu ketiga merupakan upaya mensinergikan antara akal dan nukil, antara penalaran dan periwayatan. Ilmu fikih dan ushul fikih merupakan cakupan dari bagian ilmu yang ketiga, sebab porsi akal dan wahyu bekerja bersama-sama di dalamnya. Karena dalam ilmu ushul fikih dan fikih terkandung dua unsur sekaligus, maka ilmu ini mempunyai nilai plus bila dibandingkan ilmu hadis, tafsir dan lainnya.
Pengarang buku Ihya’ Ulumuddin ini menambahkan argumen bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taklid semata yang menjadi ciri khas ilmu naqli begitu pula tidak bersandar pada akal murni. Upaya peniruan secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara berpegang pada akal semata tidak dibenarkan agama. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu yang paling unggul adalah ilmu yang berdiri ditengah-tengah antara akal dan wahyu.
Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari tiga pemetaan ilmu yang telah dilakukan oleh Ghazali dan sepenggal sejarah perjalanan intelektual dari masa ke masa.
Dari sana, penulis ingin menawarkan metode baru dalam memahami kitab kuning.
1. Pengkaji kitab kuning tidak hanya berhenti pemahaman hukum-hukum hasil karya ulama terdahulu, tetapi melacak metodologi penggalian hukumnya. Hal ini sebagaimana tawaran al Ghazali bahwa ilmu yang paling baik adalah penggabungan antara aqli dan naqli, antara menerima hasil pemikiran ulama’ salaf sekaligus mengetahui dalil dan penalarannya.
2. Membiasakan untuk bersikap kritis dan teliti terhadap objek kajian. Karena pada dasarnya budaya kritis adalah hal yang lumrah dalam dunia intelektual. Sebagaimana telah kita saksikan potret kehidupan ulama’ salaf yang sarat dengan nuansa konflik dan polemik. Hal itu terjadi, tak lain hanyalah karena ketelitian, kejelian dan kritisisme yang dimiliki oleh para pendahulu kita yang kesemuanya patut untuk kita teladani.
3. Melakukan analisa yang mendalam, apakah pendapat ulama itu benar-benar murni refleksi atas teks (nash) atau ada faktor lain yang mempengaruhi. Sekedar contoh, kenapa sampai ada qoul qodim dan qoul jadid, kenapa Imam Nawawi berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i dalam transaksi jual beli tanpa sighat (bai’al mu’athoh), kenapa Imam Qoffal berani berbeda pendapat dalam memahami sabilillah yang berarti setiap jalan kebaikan (sabil al khair) dapat menerima zakat sedangkan mayoritas ulama tidak memperbolehkan.
4. Menelusuri sebab terjadinya perbedaan pendapat, sejarah kodifikasi kitab kuning, latar belakang pendidikan pengarang, keadaan sosial dan budaya yang mempengaruhinya. Memahami faktor dan tujuan pengarang mengemukakan pendapatnya.
5. Pengkaji harus menjaga jarak antara dirinya (selaku subyek) dan materi kajian (selaku obyek). Dengan prinsip ini, peneliti tidak boleh membuat penilaian apapun terhadap materi dan melepaskan dari fanatisme yang berlebihan. Dalam tahap ini peneliti harus berusaha ”menelanjangi” aspek kultural, sosial dan historis dimana suatu hukum dicetuskan. Benar-benar memahami latar belakang suatu hukum yang telah dirumuskan ulama’ salaf. Hal ini dimaksudkan agar terjadi penilaian dan pemahaman yang obyektif.
Langkah terakhir adalah pengkaji menghubungkan antara dirinya dengan obyek kajian. Langkah ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan mengukur relevansi kitab kuning dengan konteks kekinian. Pengkaji dalam hal ini dituntut untuk menjadikan kitab kuning sebagai sesuatu yang cocok untuk diterapkan, sesuai dengan kondisi saat ini dan bersifat ke-Indonesiaan. Senantiasa berpegang pada prinsip bahwa syariat Islam diciptakan demi tegaknya kemaslahatan sosial pada masa kini dan masa depan.
Di samping langkah-langkah di atas, pemerhati kajian kitab kuning hendaknya membekali dengan ilmu penunjang yakni logika (mantiq). Ilmu anggitan Aristoteles ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian, padahal ilmu tersebut dapat mempertajam rasionalitas dan menumbuhkan daya nalar yang kreatif. Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm dan ulama salaf lainnya adalah pakar filsafat Islam disamping menguasai ilmu-ilmu keIslaman.
Kitab kuning merupakan hasil kerja keras para sarjana Islam klasik yang menyimpan segudang jawaban atas permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, disisi lain kita adalah generasi yang hidup di ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya problematika modern. Upaya yang dilakukan para pemikir bebas dalam merespon pernak-pernik modernitas sembari meninggalkan khazanah tradisional Islam tak lain hanyalah kecongkakan intelektual. Namun serta merta menjadikan kitab kuning sebagai pedoman yang ’sepenuhnya laku’ adalah tindakan yang kurang bijaksana, karena hanya al Quran dan hadis-lah yang bersifat universal.
Kita ini ibarat anak saudagar kaya yang diwarisi ratusan perusahaan besar oleh bapaknya. Akan tetapi apabila kita tidak mampu memperbaharui sistem, meingkatkan produktifitas, kreatif dalam merespons dinamika zaman, lambat laun produk perusahaan tidak laku dan tidak menarik konsumen. Akhir cerita perusahaan yang besar itu akan mati meninggalkan seribu kisah manis.
Dengan pendekatan-pendekatan di atas untuk memahami kitab kuning, Insya Allah kitab kuning akan senantiasa aktual, up to date dan layak pakai sepanjang masa. Dengan berbekal pendekatan tekstual dan pemahaman yang lugu justru akan menjadikan kitab kuning hanya sekedar bundelan kertas peninggalan ratusan tahun silam.
Realitas mengatakan bahwa yang berhasil menjadi pemikir-pemikir besar Islam Indonesia adalah mereka yang betul-betul mampu mengusai khazanah Islam klasik dengan baik. Tokoh seperti Sahal Mahfudz, Quraisy Syihab, Said Aqil Siraj dll adalah tokoh-tokoh yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan kitab kuning. Penulis sangat yakin bahwa orang yang mampu mengusai kitab kuning dengan sempurna adalah orang yang layak meneruskan estafet intelektual pemikiran Islam masa depan. Selamat bergumul dengan kitab kuning dan berhadapan dengan arus modernitas serta tantangan zaman.